input license here

TRADISI BARU SAAT NEW NORMAL: NIKAH TANPA RESEPSI (Part I)

Seberapa Pentingkah Resepsi Pernikahan Menurut Kamu?

Sumber Gambar: pixabay.com

Belakangan menikah tanpa resepsi mulai dianjurkan oleh pemerintah dalam rangka pencegahan penularan virus Covid-19. Bahkan, berita pembubaran resepsi pernikahan secara paksa santer diberitakan, hal ini dilakukan karena adanya larangan untuk membuat kerumunan.

Seiring dengan datangnya wabah yang tak kunjung pergi, pemerintah akhirnya membuat kebijakan baru tentang kenormalan baru atau sering disebut dengan “New Normal”.

Kebijakan ini sebenarnya tentang anjuran penggunaan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 dalam aktivitas kita sehari-hari. Hmmm, nampaknya New Normal juga akan mempengaruhi beberapa tradisi dan kebiasaan kita sebelumnya, tak terkecuali ya tradisi resepsi pernikahan ini.

Saking penasarannya, apakah resepsi itu penting atau tidak dimata calon manten baru dan mantan manten baru, aku mencoba mendiskusikannya dengan beberapa teman nih. Penasaran seperti apa hasilnya? Simak ya tulisanku berikut ini.

Apa si Esensi Menikah Menurut Kamu?

Mengawali diskusi kita, aku mencoba bertanya tentang esensi dari menikah. Sebelum aku tulis hasilnya, perlu digaris bawahi semua hasil diskusi berasal dari responden dengan latar belakang agama Islam, jenis kelamin perempuan dan dari berbagai latar belakang pendidikan.

Dari semua responden sepakat bahwa menurut mereka esensi dari menikah pada dasarnya adalah beribadah, menyempurnakan separuh agama.

Ungkapan menikah adalah menyempurnakan separuh agama berasal dari hadis yang isinya:
“Siapa yang diberi karuni oleh Allah seorang istri yang solihah, berarti Allah telah menolongnya untuk menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu bertaqwalah kepada Allah setengah sisanya” (HR.Baihaqi 1916).

Riwayat lainnya berasal dari Anas bin Malik, Nabi Muhammad Saw, bersabda:
Ketika seorang hamba menikah, berarti dia telah menyempurnakan setengah agamanya. Maka bertaqwalah kepada Allah setengah sisanya”

Ternyata ulama berbeda pendapat tentang status dari kedua hadis tersebut. Banyak yang menilai bahwa hadis tersebut adalah dhaif (lemah) dan ada juga yang beranggapan bahwa hadis ini hasan lighairihi (hadis yang dilihat dari sanadnya dhaif, namun dikuatkan melalui jalur lain, akan tetapi tidak mengandung syadz dan ‘illah).

Selain untuk beribadah ada juga pendapat yang menyatakan bahwa menikah memiliki esensi agar memiliki pasangan yang saling menyayangi dan untuk memiliki keturunan.

Ada jawaban yang menarik dari salah satu responden dengan latar pendidikan sosial dan antropoligi, dia menjabarkan esensi menikah dari beberapa sudut pandang.

Pertama dari sudut pandang penganut aliran Islam yang religius, tentu saja menikah adalah menyempurnakan separuh dari agama sama dengan jawaban responden lainnya.

Kedua, dari sudut pandang penganut adat, ini terikat dengan keturunan. Mereka menganggap pernikahan adalah sarana untuk mempertahankan marga/klan terutama dari marga si laki-laki. Contohnya adalah masyarakat Batak.

Ketiga untuk kaum tertentu yang tidak bisa dijelaskan secara spesifik memiliki sudut pandang bahwa esensi dari menikah adalah untuk menyelesaikan masalah. Baik masalah finansial maupun masalah batiniah.

Keempat adalah esensi menikah dari pandangannya secara pribadi. Menurutnya menikah adalah kombinasi dari beberapa pandangan tersebut, dan dia melihat bahwa menikah itu memiliki 2 tujuan.

Tujuan nyata dari menikah menurutnya adalah menyatukan dua insan, dua kepribadian dalam satu ikatan yang sah. Karena sudah dalam satu ikatan, harus saling memahami dan mengisi entah itu dalam keadaan susah, senang, sedih, sehat, waras, atau gila sekalipun.

Sudah tidak ada lagi aku kamuan, yang ada adalah kita. Hasyeekk. Aku kamu jadi kita yah, bukan aku jadi sendiri, kamunya sama dia jadi kalian. Oke, lanjut.

Tujuan nyata berikutnya adalah terkait dengan kerjasama, karena kita sekarang adalah tim. Mayoritas pasutri di Indonesia mengenal adanya pembagian kerja menurut gender dan ini sudah mendarah daging. Bahwa laki-laki harus mencari nafkah, perempuan harus mengurus rumah tangga.

Tapi menurutnya ini menjadi salah satu PR besar, bahwa sebenarnya kerjasama itu harus saling bahu membahu sebagai sebuah tim yang kompak. Jadi, satu urusan tidak mutlak harus dikerjakan sendiri oleh si suami atau si istri, tetapi harus bersinergi.

Tujuan nyata yang ketiga terkait dengan memiliki keturunan dan segala macam hal yang berkaitan dengan anak.

Baik, mari kita beralih ke tujuan pernikahan secara tersembunyi dari sudut pandang seorang sarjana sosial alumni perguruan tinggi negeri di Semarang.

Tujuan tersembunyi yang pertama adalah bagaimana membawa hubungan pernikahan menjadi sesuatu yang berkelanjutan (longitudinal), dalam hal ini berkaitan dengan surganya Allah. Bukan hanya menjadi keluarga yang samawa di dunia namun juga bisa bertemu dan berkumpul bersama kembali kelak di surga.

Tujuan tersembunyi yang kedua terkait dengan bagaimana kita kelak mendidik keturunan kita agar menjadi insan yang baik, dan bermoral. Tidak hanya hubungannya dengan Tuhannya tetapi juga dengan sesama manusia.

Esensi menikah menurutnya tak cukup hanya ijab kabul selesai, tetapi bagaiamana kita akan menjalankan berbagai tugas yang akan kita emban bersama hingga akhir usia.

Kalau esensi menikah menurut kamu apa nih? Coba dong, tulis dikomentar ya.

Baca juga: TRADISI BARU SAAT NEW NORMAL: NIKAH TANPA RESEPSI (Part II)

Resepsi itu Penting atau Tidak?

Soal resepsi ada banyak pandangan, tetapi intinya bahwa mengabarkan kepada orang lain tentang berita pernikahaan itu penting.

Nampaknya, kebutuhan resepsi pernikahan tidak lagi karena perintah agama, akan tetapi sudah melebur menjadi sebuah tradisi dalam kehidupan kita.

Pandangan tentang resepsi menikah itu penting datang dari orang-orang dengan latar belakang profesi tertentu. Seperti guru, PNS, dan orang-orang yang bekerja kantoran. Asumsi ini ada karena lingkungan pertemanan mereka di tempat kerja.

Alasan lain, karena masalah hubungan sosial dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Responden yang menyatakan bahwa resepsi itu penting tidak ingin adanya “nyinyiran” dari tetangga mereka. Meskipun faktanya, apapun yang kita lakukan selalu saja ada celah untuk bahan mereka “nyinyir”.

Alasan berikutnya adalah karena permintaan dari orang tua maupun pihak mertua, yang mengharuskan diadakannya resepsi pernikahan yang kadang menelan biaya tak sedikit. Oke, untuk alasan yang satu ini nampaknya tidak bisa diganggu gugat.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Suku Madura tentang pesta pernikahan keluarga miskin, menyatakan bahwa Suku Madura memiliki cara survive tersendiri agar bisa mengadakan pesta pernikahan. Seperti meminta bantuan dari sanak famili, mulai dari bantuan moril maupun materiil.

Mereka menganggap pesta pernikahan itu penting, karena alasan ingin membahagiakan anak-anak mereka dan motif tertentu seperti ingin mendapatkan pengakuan dari lingkungan dan tetangga mereka.

Selain di Suku Madura, warga di daerah Gondorio, Ngaliyan, Semarang juga menganggap resepsi pernikahan dan pesta sunatan itu penting, hingga melahirkan tradisi unik dalam rangka mewujudkan resepsi pernikahan yang diimpikan.

Tradisi tersebut bernama “Delebi” sebuah tradisi gotong royong memberikan bantuan kepada orang yang akan mengadakan resepsi. Harapannya entah yang kaya ataupun miskin sama-sama dapat menggelar pesta atau resepsi pernikahan.

Ada lagi yang lebih ekstrim, sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 di Pengadilan Agama Bogor, menyatakan bahwa batalnya resepsi pernikahan menjadi salah satu alasan diputuskannya perceraian atau salah satu alasan jatunya perceraian. Saking pentingnya resepsi pernikahan nih, jika gagal diadakan maka dapat menjadi salah satu alasan jatuh talak.

Baik, mari kita kaji dasar hukum dari resepsi pernikahan. Resepsi pernikahan dalam ilmu fiqh disebut dengan walimatul ‘ursi atau secara bahasa dapat diartikan sebagai pesta perkawinan.

Kata walimah sendiri secara fiqh Islam apabila diserap dalam Bahasa Indonesia memiliki arti umum dan arti khusus yang mana jika disimpulkna dapat diartikan bahwa walimatul ‘ursi adalah sebuah perayaan yang diadakan karena terjadinya suatu pernikahan dengan bertujuan untuk memberitahukan sekaligus meresmikan kedua mempelai sebagai suami istri dan juga bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur dan kebahagiaan pihak keluarga yang melaksankan pernikahan.

Menurut sebagian besar ulama, resepsi pernikahan hukumnya adalah sunnah yang sangat dianjurkan, ada juga ulama yang menyatakan bahwa resepsi pernikahan hukumnya adalah wajib.

Prodjodikoro dalam bukunya “Hukum Perkawinan” menyatakan bahwa di Indonesia disamping perkawinan yang dilakukan dan ditentukan berdasarkan hukum Islam, lazimnya diadakan upacara perkawinan dengan pesta atau selamatan, dan sebagainya.

Pelaksanaan di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda, menurut adat kebiasaan di wilayah masing-masing. Adat dan tradisi upacara perkawinan ini telah ada sejak dahulu kala sebelum agama Islam masuk ke Indonesia.

Nampaknya, resepsi pernikahan memanglah penting untuk diadakan mengingat berbagai sisi positifnya. Akan tetapi, jangan sampai acara seperti ini diartikan berbeda dan diadakan di luar kemampuan kita.

Mengutip wejangan salah satu responden, jangan sampai hanya karena gengsi dan tuntutan sosial, kita mengadakan resepsi pernikahan dengan modal hutang bank atau hutang lainnya yang ngeRIBAnget.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Post a Comment