input license here

LENGGER BANYUMASAN: MELEBURNYA MASKULINITAS DAN FEMINITAS DALAM SATU TUBUH

Lengger adalah salah satu tari khas Banyumas yang keberadaannya sudah ada sejak ribuan tahun silam. Beberapa orang memang tidak bisa membedakan antara lengger dengan ronggeng, mengingat keduanya sama-sama tarian pengiring musik calung. 

Lengger merupakan tarian yang dibawakan oleh laki-laki (wong lanang) yang berdandan dan berpakaian layaknya perempuan, sedangkan ronggeng ditarikan oleh para perempuan asli. 

Ada banyak hal menarik yang ingin aku bahas seputar tarian Lengger, mulai dari sejarahnya, manifestasi peleburan gender, hingga pandangan tentang jejak LGBT dalam lengger. Sudah siap? Mari kita bahas secara perlahan.

BACA JUGA:

foto: Famega Syavira Putri / Anindita Pradana/ BBC News Indonesia 


Filosofi Lengger

Lengger menjadi seni kebudayaan sekaligus sarana hiburan bagi rakyat, berbeda dengan tari daerah Jawa Tengah lainnya, seperti Tari Serimpi dan Tari Beksan yang pada umumnya hanya bisa dinikmati oleh kalangan bangsawan di keraton. 

Lengger berasal dari kata leng utawa bolongan yang berarti lubang dan ger yang berasal dari kata jengger, yang biasanya terdapat di atas kepala ayam jantan. Leng atau lubang merupakan manifestasi dari wanita sedangkan ger atau jengger merupakan manifestasi dari pria.

“Diarani leng eh jebul jengger” adalah ungkapan yang menandakan bahwa penari lengger yang tampak ayu nan gemulai sejatinya adalah wong lanang atau laki-laki.

Para penari lengger lanang mampu meleburkan maskulinitas dan feminitas sekaligus dalam satu tubuh. Mereka menjadi perempuan yang ayu dan gemulai ketika pentas berlangsung, tetapi menjadi lelaki tulen dalam kehidupan nyata.

Bahkan banyak para penari lengger ini yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, mereka berhasil mengaburkan batas antara maskulinitas dan feminitas yang selama ini dipegang menjadi acuan sifat seseorang berdasarkan jenis kelamin.

Rianto, salah satu penari lengger dan koreografer yang kisah hidupnya kemudian menjadi inspirasi film “Ku Cumbu Tubuh Indahku” pernah mengatakan bahwa ia ingin berlaku adil pada tubuhnya, sebab pada dasarnya di dalam tubuh kita memiliki sisi maskulin dan feminim sekaligus. Rianto juga mengatakan bahwa sebuah seni dan maha karya tak penah mengenal dan memandang gender. 

Sejarah Lengger

Lengger/ronggeng sejak dahulu sudah sering dipentaskan dalam ritual pemujaan terhadap dewi kesuburan. Biasanya tarian ini ditampilkan saat musim panen tiba, sebagai ungkapan syukur dan suka cita.

Lengger pertama kali dipetakan dalam Serat Centhini yang ditulis sekitar abad ke 18, oleh 3 orang sastrawan yang ditugaskan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangku Nagara III dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Meskipun baru ditulis pada abad ke 18, keberadaan Tari Lengger ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke 16. Banyak ahli sejarah yang mengatakan bahwa Tari Lengger adalah bentuk pengorbanan laki-laki untuk melindungi para perempuan desa.

Pada masa kolonial Belanda, sering kali para kompeni meminta ditampilkan hiburan tarian pada malam hari. Sebagai bentuk perlindungan kepada para perempuan lantas masyarakat berinisiatif untuk menampilkan tarian yang diperankan oleh para laki-laki.

Lantas para penari laki-laki ini berdandan dan berpakaian layaknya perempuan untuk menari dan menghibur para kompeni. Nyatanya, mereka tetap terhibur dengan lenggak-lenggok para penari lengger lanang kala itu.

Mbok Dariah, adalah salah satu penari lengger yang sudah mulai eksis sejak awal kemerdekaan dan masih konsisten menari lengger hingga saat ini. Ia lahir sebagai seorang laki-laki dengan nama Sadam, setelah ia memiliki indang lengger/ronggeng, kemudian dirinya eksis menjadi penari lengger yang digandrungi baik laki-laki maupun perempuan, karena kecantikan dan keluwesannya dalam menari.

Lewat mbok Dariah, lengger sempat mencapai masa keemasan hingga tahun 1965 sebelum terjadi pembantaian PKI. Kebencian dan sentimen terhadap kaum minoritas dan penari seperti mbok Dariah membuatnya takut untuk tampil membawakan Tari Lengger. Kala itu seniman tradisional dianggap sering diundang dalam acara pemerintah yang oleh ORBA ditengarai dekat dengan komunisme.

Setelah hampir punah, kini lengger mulai menampakkan kembali eksistensinya. Sudah banyak sanggar tari dan para penggiat Tari Lengger yang mulai bermunculan. Pada tahun 2011, mbok Dariah pun telah dinobatkan sebagai Maestro Seniman Tradisional pada masa kekuasaan SBY.

Lekat dengan LGBT?

foto: mbok dariah sedang menari lengger/ spektakel.id


Mbok Dariah, yang saat dilahirkan sebagai laki-laki lalu kemudian memutuskan untuk berpenampilan layaknya perempuan dalam kehidupan sehari-hari, serta mengganti namanya menjadi nama perempuan barang kali tidak bisa dijadikan patokan bahwa lengger adalah bentuk dari LBGT.

Faktanya, banyak penari lengger yang tertarik dengan perempuan dan sudah menikah, memiliki istri bahkan anak. Meminjam kata-kata yang diucapkan oleh Rianto, bahwa seni tak pernah memandang gender. 

Kesenian dan tarian daerah lintas gender rasanya sangat lumrah, lihat saja Didik Nini Towok yang sering menampilkan tarian-tarian dengan lakon perempuan dan laki-laki sekaligus. 

Menurut Ahmad Tohari, budayawan Banyumas sekaligus penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk bahwa kesenian transgender di Banyumas sudah sangat biasa dan sudah ada sejak dahulu.

Tentu saja, Tari Lengger tidak bisa dihubungkan dengan LGBT karena merupakan kesenian rakyat, yang lahir dan berkembang di lingkungan masyrakat dengan budaya agraris. Ditambah, Tari Lengger memiliki nilai filosofis dan latar sejarah yang panjang. 

Sekali lagi, kesenian berupa tari daerah tidak pernah memandang gender atau jenis kelamin.





 

Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Post a Comment