input license here

TRADISI SURAN DI KALI CONGOT, DARI LARUNGAN HINGGA BAGI-BAGI MAKANAN

Bulan Sura atau Muharram dalam kalender Hijriah, bagi masyarakat Jawa dimaknai sebagai bulan yang sakral. Tak heran jika di bulan Sura beberapa daerah di Jawa akan menggelar upacara dan tradisinya masing-masing, mulai dari melarungkan sesaji ke laut, melakukan semedi di tempat-tempat tertentu, hingga membersihkan aneka benda pusaka. 

        foto: seorang nelayan memamerkan hasil tangkapan (c) eva oktafikasari/pelancongngapak

Salah satu contohnya adalah tradisi di Kedungbenda, Purbalingga. Sebagai satu-satunya kampung nelayan di Kabupaten Purbalingga, warga Kedungbenda memiliki tradisi tersendiri mulai dari larungan, gunungan, hingga bagi-bagi makanan. Seperti apa keseruannya? Kita intip yuk!

Larungan dan Gunungan

  foto: suasana saat prosesi larungan (c) eva oktafikasari/pelancongngapak

Kampung Nelayan di pesisir Sungai Klawing memiliki tradisi tersendiri yang selalu dilaksanakan setiap bulan Sura tiba. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rezeki dan kenikmatan, warga Kedungbenda akan melakukan larungan, berupa aneka hasil bumi seperti singkong, padi, pisang, dan lain sebagainya. 

Hasil bumi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam rumah-rumah kecil terbuat dari janur kuning (daun kelapa muda), setelah berdoa dan dilakukan iring-iringan, larungan ini kemudian dihanyutkan ke Sungai Klawing.

Selain larungan, bersamaan dengan iringan-iringan juga ada tradisi gunungan. Gunungan ini berupa buah dan sayur mayur hasil pertanian di Kedungbenda, serta gunungan berisi ketupat. Kedua gunungan ini akan diperebutkan oleh seluruh warga Kedungbenda.

  foto: anak-anak ikut terlibat dalam tradisi kali congot (c) eva oktafikasari/pelancongngapak

Kamu juga boleh loh ikut rebutan gunungan, makanan dari gunungan dipercaya memiliki berkah karena sudah didoakan para tokoh agama.

Pada malam hari setelah larungan dan gunungan dilakukan, akan dipentaskan wayangan semalam suntuk hingga pagi.

Biasanya sehari sebelum larungan dan gunungan dilaksanakan, warga Kedungbenda akan melakukan ziarah dan resik luhur di lokasi situs Lingga Yoni, dan di Panembahan Dipokusumo pada siang hari. Kemudian pada malam harinya warga melakukan pawai obor dan resik luhur di kawasan Congot (titik pertemuan antara Sungai Klawing dan Sungai Serayu).

Bagi-bagi Nasi “Slametan”

  foto: potret perempuan para pembawa tenong (c) eva oktafikasari/pelancongngapak

Setelah larungan usai, arak-arakan berpindah ke balai desa. Sembari membawa tenong (bakul terbuat dari bambu) di kepala, puluhan ibu-ibu perwakilan dari tiap RT di Kedungbenda ini berjalan beriringan menuju balai desa Kedungbenda.

Tenong yang dibawa ini berisi makanan slametan berupa nasi dan aneka lauk pauk. Seperti pada kegiatan Slametan pada umumnya, usai melakukan doa bersama nasi slametan ini akan dibagi-bagikan bagi siapa saja. Baik warga Kedungbenda maupun pengunjung Festival Congot.
  foto: warga antusias dalam pembagian nasi slametan (c) eva oktafikasari/pelancongngapak

Biasanya ada ratusan porsi nasi slametan yang siap untuk dibagi-bagikan. Jika kamu mengikuti Festival Congot ini, jangan sampai ketinggalan untuk mencicipi nasi slametan dan menyantapnya bersama-sama dengan warga.

Menikmati Tari Dames Asli Purbalingga

  foto: pertunjukkan tari dames (c) eva oktafikasari/pelancongngapak

Festival Congot ini juga selalu meriah dengan menampilkan berbagai macam kesenian daerah dan hiburan, seperti ebeg atau kuda lumping, kentongan, pementasan musik, hingga grup kosidahan ibu-ibu.

Kesenian lokal yang paling menarik selain ebeg dan kentongan adalah penampilan Tari Dames atau disebut juga Tari Aplang. Tari Dames merupakan salah satu tari tradisional asli Purbalingga yang sudah ada sejak zaman penyebaran Islam oleh para Wali di Jawa.

  foto: pertunjukkan kentongan (c) eva oktafikasari/pelancongngapak

Dames berasal dari kata Madams dalam Bahasa Belanda yang artinya gadis, oleh sebab itu Tari Dames ini ditarikan oleh 8 orang gadis diiringi musik yang khas yakni rebana, bedhug, dan kendhang. 

Penarinya yang berjumlah 8 orang memiliki makna khusus, yaitu sebagai simbol arah penjuru 8 mata angin. Tarian ini bernuansa gembira dan bernafaskan Islam, terlihat dari syair yang dinyanyikan oleh sinden berisikan ajaran agama Islam yang harus diamalkan.

Susur Sungai dan Kontes Njala

  foto: peserta festival njala (c) eva oktafikasari/pelancongngapak

Setelah mengikuti serangkaian kegiatan di Festival Congot, jangan sampai lupa untuk menjajal wisata susur sungai. Hanya dengan Rp.5.000,- saja kamu sudah bisa menikmati sensasi menjelajah Sungai Klawing dengan perahu.

Sembari melihat keindahan alam di sekitar Desa Wisata Kedungbenda, kamu juga bisa melihat dari dekat nelayan-nelayan yang sedang mengikuti Kontes Njala.

  foto: wisata susur sungai (c) eva oktafikasari/pelancongngapak

Kontes Njala merupakan salah satu kegiatan dari Festival Congot yang melibatkan secara langsung para nelayan di Desa Kedungbenda. Tiap tim terdiri dari 2 orang, dengan bermodalkan perahu-perahu kecil dan jala, para nelayan ini nampak bersemangat mengikuti kontes.

  foto: peserta kontes njala (c) eva oktafikasari/pelancongngapak

Kamu juga tidak boleh lupa untuk sesekali mengabadikan momen langka ini, sekaligus berfoto ria dikawasan wisata yang satu ini yah. 

Lokasi

  foto: suasana ramai di depan gerbang kalicongot (c) eva oktafikasari/pelancongngapak

Jika kamu tertarik untuk mengikuti Festival Congot atau ingin berwisata susur sungai Kali Klawing, lokasinya berada di Desa Wisata Kedungbenda, Kemangkon, Purbalingga. Tepat berada di bawah Jembatan Linggamas. Lokasinya bisa dengan mudah kamu temukan di Google Maps.

Festival Congot ini merupakan salah satu festival budaya yang akan digelar tiap tahun, biasanya dilaksakanan tiap pertengahan atau minggu terakhir di bulan Sura atau bulan Muharram.

Tertarik untuk mengikuti Festival Congot tahun depan?


Related Posts
SHARE

Related Posts

Subscribe to get free updates

Post a Comment